PAPMA "KASIH"
Perkumpulan Pengajaran Mempelai Alkitabiah "Kasih"
Register    
slide1
slide2
slide3

Mar
5

Iman Pada Perkara Rohani

Iman Pada Perkara Rohani
Uncategorized
"Setelah semuanya itu Allah mencoba Abraham. Ia berfirman kepadanya: "Abraham," lalu sahutnya: "Ya, Tuhan." Firman-Nya: "Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu." Keesokan harinya pagi-pagi bangunlah Abraham, ia memasang pelana keledainya dan memanggil dua orang bujangnya beserta Ishak, anaknya; ia membelah juga kayu untuk korban bakaran itu, lalu berangkatlah ia dan pergi ke tempat yang dikatakan Allah kepadanya.” Kejadian 22:1-3

Abraham sebagai bapa orang percaya harus melewati ujian iman dari Tuhan. Dia harus pergi ke suatu tempat tanpa dia ketahui tujuannya. Bersama dengan Abraham, Lot juga mengikutinya. Berbeda dengan Abraham, Lot berangkat bukan karena percaya pada perintah Tuhan, tetapi karena dia mengikuti Abraham.  Pada saat terjadi perselisihan dan mereka harus berpisah, kelihatan kalau Lot tidak memiliki iman. Dia hanya melihat dengan padangan matanya, memilih tempat yang tampak subur dan indah. Sedangkan Abraham bukan berjalan karena pandangan jasmaninya, tetapi dia melihat dengan pandangan rohani yang jauh ke depan. Iman kita jangan hanya memandang perkara-perkara duniawi saja, tetapi kita harus memandang perkara yang rohani jauh ke depan. Ujian iman terberat bagi Abraham adalah pada saat Tuhan meminta anaknya yang dia kasihi, untuk dikorbankan kepada Tuhan. Karena imannya, dia dengan cepat menanggapi perintah Tuhan. Kita pun menanggapi perintah Tuhan, jangan kita berdalih atau beralasan apapun juga. Sekalipun Tuhan meminta sesuatu yang juga merupakan pemberian Tuhan. Sesuatu yang mustahil untuk didapatkan kembali jika sudah dikorbankan. Tuhan tidak meminta anak kita untuk dikorbankan, tetapi Tuhan meminta tubuh kita dipersembahkan sebagai persembahan yang hidup dan berkenan kepada Tuhan. 

Abraham memiliki pandangan rohani yang jauh ke depan.  Dia menanti-nantikan kota yang mempunyai dasar, yang direncanakan dan dibangun oleh Allah, suatu tanah air sorgawi. Sebagaimana disebutkan dalam Ibrani 11:8-10, 16, "Karena iman Abraham taat, ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya, lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tujui. Karena iman ia diam di tanah yang dijanjikan itu seolah-olah di suatu tanah asing dan di situ ia tinggal di kemah dengan Ishak dan Yakub, yang turut menjadi ahli waris janji yang satu itu. Sebab ia menanti-nantikan kota yang mempunyai dasar, yang direncanakan dan dibangun oleh Allah. … Tetapi sekarang mereka merindukan tanah air yang lebih baik yaitu satu tanah air sorgawi. Sebab itu Allah tidak malu disebut Allah mereka, karena Ia telah mempersiapkan sebuah kota bagi mereka.” Jangan kita beralasan dalam melaksanakan ibadah dan pelayanan kita. Tetapi baiklah kita juga mempunyai iman yang jauh ke depan, yaitu kita menuju ke kota Yerusalem baru. Sekali lagi janganlah iman kita hanya memandang pada perkara jasmani. Di mana kita beribadah supaya diberkati kebutuhan hidup kita. Semuanya hanya menyangkut perkara duniawi. Arahkan pandangan iman percaya kita pada kota yang dibangun Allah, Yerusalem sorgawi sebagaimana ditulis dalam Ibrani 12:22, "Tetapi kamu sudah datang ke Bukit Sion, ke kota Allah yang hidup, Yerusalem sorgawi dan kepada beribu-ribu malaikat, suatu kumpulan yang meriah”

Abraham, karena imannya jauh ke depan ke kota yang dibangun Allah, maka dia rela ketika Allah meminta dia mempersembahkan anak tunggalnya. Demikian juga kita, jika kita memiliki pandangan rohani ke Yerusalem baru, maka kita dapat mempersembahkan tubuh kita kepada Tuhan.

Iman kita harus dibuktikan dengan perbuatan. Sebagaimana Abraham dibenarkan bukan karena percayanya saja, tetapi karena percayanya dibuktikan dengan perbuatannya. Dengan demikian iman itu menjadi sempurna.  Karena iman dengan perbuatannya, Abraham disebut sebagai sahabat Allah, sebagaimana ditulis dalam Yakobus 2:21-23, "Bukankah Abraham, bapa kita, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, ketika ia mempersembahkan Ishak, anaknya, di atas mezbah? Kamu lihat, bahwa iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna. Dengan jalan demikian genaplah nas yang mengatakan: "Lalu percayalah Abraham kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran." Karena itu Abraham disebut: "Sahabat Allah." Haleluya!




Post a comment